Asalamualaikum
Ada pusing untuk membuat Tugas atau makalah,
Coba lihat lihat sajah Contoh makalah Saya, mungkin ini bisa membatu atau meringankan tugas anda
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah Swt. karena atas karunia dan rido-Nya kami dapatmenyusun makalah yang
berjudul
Penegakan Hukum dan
keadilan
sebagai upayauntuk
memenuhi salah satu tugas. makalah ini kami
memaparkan mengenai penegakan hukum. dan keadialan Kami membahas mulai
dari pengertian hukum, pembagian hukum, dan penegakan
hukum dan keadilan. Penegakan hukum di Indonesia masih belum sempurna.
Banyak hal yang menghambat proses penegakan hukum yang adil
dan bertanggung jawab. Makalah ini
masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki baik
dari segi isi materi, tata bahasa, dan cara penulisannya. Olehkarena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.Mudah-mudahan makalah
ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk
memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam
mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat
pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa
menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang
amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana
menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan
yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana
merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi
hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum
pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara
pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses
peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan
berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan
hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah
yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita
lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang carut marut, mengapa? Karena
dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di televisi, surat kabar, dan
media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum di
Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai dari
tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat.
Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat
hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah
aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan keadaan yang
relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya,
menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia
(LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan
penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan
sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa
rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini,
penulis akan mencoba memaparkan mengenai kebijakan, problematika, dampak dan
pemecahan penegakan hukum di Indonesia. Selain itu penulis juga akan memaparkan
ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam perkara
ini adalah sebagai berikut.
1.
Definisi
kebijakan penegak hukum.
2.
Problematika
penegakan hukum di Indonesia.
3.
Dampak yang
timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4.
Ketidakpuasan
masyarakat terhadap penerapannya.
5. Solusi dan
cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
C. TUJUAN
Tujuan dalam pembahasan ini adalah
interpretasi terhadap rumusan permasalahan ini, yaitu.
1. Untuk
mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2. Untuk
mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
4. Untuk
mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5.
Untuk
mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
D.
MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini
adalah sebagai berikut.
1.
Dapat
mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
2.
Dapat
mengetahui problematika penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
3.
Dapat
mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
4.
Dapat
mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
5.
Dapat
mengetahui dan menilai bagaimana solusi dalam pemecahan permasalahan hukum di
Indonesia.
6.
Khusus bagi
pemerintahan, memberikan gambaran mengenai sistem penegakan hukum yang berlaku
dalam masyarakat, serta diharapkan dapat menilai, menelaah dan membuat suatu
keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Kebijakan
Penegak Hukum
Kebijakan adalah kepandaian,
kemahiran, kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak pemerintah; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dari
haluan-haluan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh DPR (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Sedangkan penegakan adalah proses,
cara, perbuatan, menegakkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005:
1155). Selain itu hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum,
antara lain:
Hukum adalah:
1. Peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa
atau pemerintah;
2. Undang-undang,
peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3. Patokan
(kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4. Keputusan
(pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang erlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno,
1999: 40).
Jadi, kebijakan penegakan hukum
adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk
menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan
menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk
undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa,
serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa
yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat. Merdeka dan
bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu
keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai
keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara
berpikir yang filosofis.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemafaatan (Zweckmassigkeit)
dan keadilan (Gerechtigkeit) (Sudikno, 1999: 145).
Kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan
hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum
harus memberi manfaat bagi masyarakat. Selain itu masyarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaaan atau penegakan hukum keadilan
diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil (Sudikno, 1999:
146).
Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas
tercantum:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Rumusan tersebut mengandung makna
bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan
hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga
negara. Bahkan tafsiran tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku
bagi siapa saja, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka
adalah penduduk Negara Republik Indonesia (Jimly, 2011: 110).
B.
Problematika
Penegakan Hukum di Indonesia
Masalah utama penegakan hukum di
negara-negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu
sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak
hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak
hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan
erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28
tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai
tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat
mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi
dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu
membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain
itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola
tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partispasi dari golongan sasaran
atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan
lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah
masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan
advokat ) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging
sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption
jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang
seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit
diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim,
jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan
prinsip-prinsip good governance.
Beberapa permasalahan mengenai
penegakan hukum, tentunya tidak dapat terlepas dari kenyataan, bahwa
berfungsinya hukum sangatlah tergantung pada hubungan yang serasi antara hukum
itu sendiri, penegak hukum, fasilitasnya dan masyarakat yang diaturnya.
Kepincangan pada salah satu unsur, tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan
bahwa seluruh sistem akan terkena pengaruh negatifnya (Soerjono Soekanto dan
Mustafa Abdullah, 1987: 20). Misalnya, kalau hukum tertulis yang mengatur suatu
bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam
kepincangan. Maka seluruh lapisan masyarakat akan merasakan akibat pahitnya.
Penegak hukum yang bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas
strata atas, menengah dan bawah. Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas
harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis yang mencakup
ruang lingkup tugasnya. Dalam penegakkan hukum, menurut Soerjono Soekanto
sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum mengahadapi
hal-hal sebagai berikut:
a) Sampai
sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b) Sampai
batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,
c) Teladan
macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat,
d) Sampai
sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas
sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya (Zainuddin, 2006:
95).
Lemahnya mentalitas aparat penegak
hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum
diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak
transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak
hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah
baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian
juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik,
kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Kondisi riil yang terjadi saat ini
di Indonesia mengindikasikan adanya kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam
menegakan hukum. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat
dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari
aparat penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan penegakan hukum diakibatkan
profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan ketidakmauan penegakan hukum
berkait masalah KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh aparat
hukum sudah menjadi rahasia umum. Terlepas dari dua hal di atas lemahnya
penegakan hukum di Indonesia juga dapat kita lihat dari ketidakpuasan
masyarakat karena hukum yang nota benenya sebagai wadah untuk mencari keadilan
bagi masyarakat, tetapi malah memberikan rasa ketidakadilan.
Akhir-akhir ini banyak isu yang
sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan
korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa
ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi
perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam
kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi
perhatian adalah lembaga peradilan.
Korupsi telah merambat dan mengotori
hampir seluruh institusi penegakan hukum kita termasuk lembaga peradilan.
Misalnya saja tentang salahnya penegakan hukum di Indonesia seperti saat
seseorang mencuri sandal, ia disidang dan didenda hanya karena mencuri sandal
seorang briptu yang harganya bisa dibilang murah, sedangkan para koruptor di
Indonesia bisa dengan leluasa merajalela, menikmati hidup seakan tanpa dosa,
karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia. Kita ambil contoh
Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari
tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitas televisi, kulkas, AC, bahkan
sampai ruang karokean. Hal ini kemudian memperlihatkan diskriminasi di dalam
pemutusan perkara oleh lembaga peradilan kita dimana rakyat miskin yang tidak
mempunyai kekuatan financial seakan hukum begitu runcing kepadanya sedangkan
para orang-orang yang berduit menganggap hukum itu bisa dibeli bahkan saya
anggap bahwa sel tahanan mereka tidak layaklah dikatakan sebagai sel tetapi
hotel sementara sedangkan rakyat miskin begitu merasakan yang namanya sel
tahanan
Hukum di negara kita ini dapat diselewengkan
atau disuap dengan mudahnya, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia. Selain
lembaga peradilan, ternyata aparat kepolisianpun tidak lepas dari penyelewengan
hukum. Misalnya saat terkena tilang polisi lalu lintas, ada beberapa
oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap agar kasus ini tidak
diperpanjang, polisinya pun mendapatkan keuntungan materi dengan cepat namun
salah tempat. Ini merupakan contoh kongkrit di lingkungan kita.
Persamaan di hadapan hukum yang
selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan
efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak kepada
segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus diperbaiki
untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional tentunya terhadap
sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang
terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya
setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah
namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus yang terjadi,
contohnya saja kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri
tiga buah kakao. Dari segi manapun mencuri memang tidak dibenarkan. Namun, kita
juga harus melihat dari sisi kemanusiaan. Betapa tidak adilnya ketika rakyat
kecil seperti itu betul-betul ditekan sedangkan para pejabat yang korupsi
jutaan bahkan miliaran rupiah bebas begitu saja, walaupun ada yang terjerat
hukuman tapi penjaranya bagaikan kamar hotel.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan
lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all (keadilan untuk semua)
berubah menjadi justice not for all (keadilan untuk tidak semua). Hukum di
negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan
hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah
kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang.
Berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat
memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram
bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia sendiri hukum dibuat
berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan hukum di Indonesia
memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu lembaga keadilan
dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu
yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya
merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat
melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan
melibatkan masyarakat kelas bawah. Beberapa kasus seperti pencurian sendal yang
dilakukan oleh seorang murid terhadap salah satu anggota kepolisian misalnya,
terdapat berbagai kejanggalan dalam kasus tersebut seperti berbedanya sandal
yang dimaksud serta adanya penganiayaan terhadap sang pelaku oleh oknum polisi
tersebut. Dengan hanya mencuri sepasang sendal jepit yang kemungkinan pula
bukan anak tersebut pelakunya, malah diberikan tuntutan hukuman 5 tahun
penjara. Adilkah itu ? Masyarakat awam pun pasti mengetahui apa yang dimaksud
keadilan. Berbeda dengan kasus yang melibatkan rakyat kecil yang seharusnya
memang bisa diselesaikan dengan rasa keadilan serta kekeluargaan, para pimpinan
negara yang terhormat malah melakukan banyak korupsi dan tak terselesaikan
masalahnya.
Para penegak hukum antara lain
hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak
suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan
sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun
, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak
berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu
seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di
ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di
putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Penegakkan hukum dari aparat
kepolisian juga dinilai sangat kurang, bisa dilihat dengan banyaknya penilangan
kepada kendaraan bermotor yang berakhir dengan istilah UUD (Ujung-Ujungnya
Duit) atau biasa disebut uang sogokkan. Serta ada pula masalah tentang
kebijakkan-kebijakkan pemerintah yang dinilai kurang serta tidak didasari
dengan landasan hukum yang tepat. Seperti kebijakkan bagi pengendara motor yang
diharuskan menyalakan lampu utama pada siang hari yang dinilai kurang
realistis. Karena menyalakan lampu pada siang hari sama saja dengan pemborosan
energi, sesungguhnya cahaya matahari sudah cukup terang bagi pengguna jalan.
Dan alasan karena banyaknya terjadi kecelakaan siang hari oleh para pengguna
sepeda motor tentu bukan karena lampu atau cahaya yang kurang.
Dengan adanya pemanasan global dan
yang dicanangkan pemerintah tentang save energy-pun dipertanyakan karena memang
menyalakan lampu pada siang hari adalah pemborosan energi. Beberapa
Undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan jumlah yang sudah
ditetapkan pun molor sehingga hanya ada sedikit Undang-undang yang sudah
terealisasikan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah yang seharusnya
hukum itu untuk keteraturan serta tercipta kedamaian di negara kita menjadi
begitu tidak dapat diandalkan.
Selain dengan masalah-masalah
tersebut tentu dengan adanya hukum yang lemah maka ketahanan negara juga akan
lemah. Bisa kita lihat dari berbagai macam kasus tentang perbatasan negara
maupun pencaplokan wilayah dan budaya yang dilakukan oleh negara tetangga.
Pemerintah Indonesia sangat lamban dalam mengambil sikap dalam hal pertahanan
dan keamanan negara, adanya kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia
serta kota-kota lain di Indonesia serta sarana dan infrastruktur di daerah
perbatasan yang sangat kurang menjadi masalah yang harus ditanggapi serius oleh
pemerintah. Masyarakat perbatasan tentu merasa dianak tirikan oleh pemerintah
karena tidak adanya peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut, dan tentu
hal ini menjadi senjata bagi negara lain untuk dengan mudah mencaplok daerah
perbatasan sebagai daerah negaranya karena negara tersebut mengambil hati
masyarakat dengan memberi berbagai macam kebutuhan oleh negara tersebut berbeda
dengan apa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu
hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945
namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap
penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia
tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan
adanya sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan
dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya
Sungguh menjadi sesuatu yang ironis
ketika kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya menjadi berkurang, dan ketika
itulah masyarakat akan menjadi merasa tersakiti serta tak mempercayai
kepemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu tiang keadilan dan
kemakmuran. Ketika hukum yang hanya memihak golongan tertentu maka keadilan
juga akan memudar dan akan meruntuhkan derajat dan martabat negara. Dengan
runtuhnya derajat negara, runtuh pula negara tersebut dan akan mudah bagi
pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi ini yaitu adanya intervensi
asing dalam masalah negara.
Karena intervensi itu sendiri sudah
mulai muncul ketika banyaknya media asing yang memberitakan tentang bobroknya
negara ini. Sebagai salah satu contohnya dimana ada media asing yang
memberitakan tentang masalah jembatan yang tak layak di Indonesia. Masyarakat
terutama para siswa yang ingin bersekolah harus menantang nyawa dengan
menyebrangi sungai hanya dengan seutas tali. Dimana peran pemerintah? Hanya ada
janji yang entah kapan akan ditepati. Hukum memang salah satu cara untuk
memberikan keadilan, dan hukum seharusnya ditegakkan dengan bijaksana, tegas
dan apa adanya.
Selain beberapa faktor diatas, faktor
uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus bisa
menjadi cerminan lemahnya hukum di Indonesia ketika sudah berbenturan dengan
uang, misalnya saja kasus korupsi yang menjerat nama Gayus Tambunan. Kasus ini
memang sudah di selesaikan dipengadilan, tetapi walaupaun Gayus telah
ditempatkan di dalam penjara, nyatanya dia masih bebas untuk berwisata ke
Bali bahkan sampai keluar negeri yaitu Makau. Ini karena lemahnya iman para
petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum setegak-tegaknya kalau sudah
dihadapkan dengan uang. Mereka tentunya mengabulkan permintaan Gayus tersebut
tidak dengan cuma-cuma, tetapi ada imbalan yang diberikan kepada para petugas
tersebut. Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, ini
semua tidak lepas dari lemahnya iman aparat yang bertugas menegakkan hukum
ketika sudah di hadapkan dengan uang. Apakah ini yang di namakan “uang
berbicara”? Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau
sudah seperti itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah
melanda hukum di negeri tercinta kita ini, sehingga jangan heran kalau ada
istilah yang kemudian muncul di masyarakat kita tentang penegakkan hukum di
Indonesia yaitu KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Ini adalah cerminan bahwa
rakyat Indonesia sudah mulai hilang kepercayaan dengan penegakan hukum yang ada
di Indonesia.
Penegakan hukum yang carut-marut,
kacau, dan mengesampingkan keadilan tersebut bisa saja diminimalisir kalau
seandainya hukum dikembalikan kepada fungsi aslinya, yaitu untuk untuk
menciptakan keadilan, ketertiban serta kenyamanan. Selain itu sebagaimana
menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan
keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni:
1.
Hukum dan peraturan
itu sendiri.
Kemungkinannya adalah bahwa terjadi
ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan
perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala
ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya.
2.
Mentalitas
Petugas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum antara lain mencakup
hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila
peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum
kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum.
3.
Fasilitas
yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-undangan
sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang
memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.
4.
Kesadaran
dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Namun dipihak lain perlu juga disadari
bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan
belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhirnya adalah
keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di
masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses
yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata
bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere yang berdiri sendiri
tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub tersebut.
Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang
lain, keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub
Naminem Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan
yang bersifat netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang
kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat
dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa
hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju
suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
Penegakan hukum yang acap kali
menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis maupun
keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu ketidakpercayaan
masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakan hukum di
tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi hukum, kita dapat
mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi
aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal (yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu
contoh, adanya kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum
berpedoman pada undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal dari
luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya
kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri.
Lembaga hukum merupakan lembaga
penegak keadilan dalam suatu masyarakat, lembaga di mana masyarakat memerlukan
dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun
bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum dan
syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan dapat
dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan
asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan
sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena
itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari
keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga
dan dijamin integritasnya secara konsekuen (Miftah, 2003: 218).
Jika kita berkaca kepada potret
penegakan hukum di Indonesia setelah menilik dari berbagai kasus (menurut
penulis) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan
hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus
besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun
ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan
tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan
rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena
sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi
alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk
menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Realita penegakan hukum yang
demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat kecil yang akan berujung pada
ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat penegak hukum itu
sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang note
bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum
yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan
kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap
hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar
tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011:
156).
Problematika penegakan hukum yang
mengandung unsur ketidakadilan mengakibatkan adanya isu mafia peradilan,
keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan
HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman
Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini
merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang
terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun
putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek
yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk
mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial
bagi masyarakatnya.
C. Dampak dalam
Penegakan Hukum di Indonesia
Penyelewengan
atau inkonsistensi di Indonesia berlangsung lama bertahun-tahun hingga
sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini merupakan rahasia umum, hukum
yang dibuat berbeda dengan hukum yang dijalankan, contoh paling dekat dengan
lingkungan adalah, penilangan pengemudi kendaraan yang melanggar tata tertib
lalu lintas. Mereka yang melanggar tata tertib lalu lintas tidak jarang ingin
berdamai di tempat atau menyelewengkan hukum, kemudian seharusnya aparat yang
menegakkan hukum tersebut dapat menangi secara hukum yang berlaku di Indonesia,
namun tidak jarang penegak hukum tersebut justru mengambil kesempatan yang
tidak terpuji itu untuk menambah pundi-pundi uangnya.
Oleh karena
itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut
diantaranya, yaitu:
1. Ketidakpercayaan
masyarakat pada hukum
Masyarakat
berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga
mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah yang
berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar
balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum. Kasus-kasus
korupsi di Indonesia tidak terselesaikan secara tuntas karena para petinggi
Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini
agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan masayarakatpun pudar.
2. Penyelesaian
konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang
dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di
sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan,
seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan
wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas degan
kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan
masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang
tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat
ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya,
bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan
Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang
memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya
ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa,
sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua
belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada
banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat
dalam kasus hukum tersebut.
4. Penggunaan
Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia,
mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan
kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau
dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).
D.
Ketidakpuasan
Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan masyarakat terhadap
penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari
hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang
menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan
hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2
persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di
Indonesia merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa,
berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun
ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka yang tinggal
di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas
jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi.
Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah
lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika
berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan
hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4 persen
(Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3
persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6
persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/).
Uraian di atas menunjukkan betapa
rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga
pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini
sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya
berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua
kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk.
Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru
setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep
pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan
fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan”
sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
E.
Pemecahan
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Berbagai realita yang terjadi di era
reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di
Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara
ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak
hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para
pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi
namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut
kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena
bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut
berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan
pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk ke dalam kategori
warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara
sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan
bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar
dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada
aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan
atau kesatuan, pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap
eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah fungsional bagi berdirinya
masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab mengakui
kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan
demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa
sehingga menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang problematika
penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang sangat menarik untuk diangkat
dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada kepuasaan yang dicapai
subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-badan hukum.
Saya mencoba untuk memberikan
beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia.
Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para sarjana hukum untuk
lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis masalah-masalah
yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan
makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan
ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi
masalah-masalah sosial serta penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar
dalam pembuatan hukum ke depannya dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di
masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama
adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa
memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal
27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk
menyelesaikan berbagai masalah terkait hal tersebut yakni bagaimana
tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, serta
pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai
kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum
sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya
itu filosofi Pancasila sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup
dalam bertindak atau sebagai pusat dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita
dan tujuan negara kita sebagaimana telah dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945
yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam
bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus berdasarkan rasa
keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks
perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya
berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan
yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
Cara yang ketiga yakni program
jangka panjang yang perlu dilakukan yakni penerapan pendidikan karakter dalam
setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat keefektifan program tersebut
dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa ditengah penurunan kualitas
sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi penerus bangsa
tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga
mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di
Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang
akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya
penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang memberikan
terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya
penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan terobosan
yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan
masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih sangat rendah. Keberanian
lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi penegakan hukum.
Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan menjadi hal yang
mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya penegakan hukum
selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.
BAB III
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia
merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di
dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu
sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari
segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali
lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk,
Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang
berjalan di mata masyarakat. Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih
berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan bersamaan kejadiaannya.
Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini merupakan
permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya
atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah
yang mengatur semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah
sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil
keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan
hukum di negeri ini.
Perlu banyak evaluasi-evaluasi yang
harus dilakukan, harus ada penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan
hukum yang kian hari kian menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran
yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu
ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan takwa yang sejak
kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara
atau pihak-pihak berkepentingan lainnya. Karena baik untuk hukum Indonesia,
baik pula untuk bangsanya dan buruk untuk hukum di negeri ini, buruk pula
konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang
berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena
sudah demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus
tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu
dengan Undang-Undang tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela
menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus
menghargai semua perjuangan itu dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini
malu di mata masyarakat ini sendiri bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak
hanya berdasarkan luasan wilayahnya ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk,
tetapi dengan menghargai perjuangan para pahlawan terdahulu dengan menjalankan
ketentuan hukum yang berlaku demi terciptanya keamanan, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat.
B.
KRITIK DAN
SARAN
Kritik dan saran sangat saya
harapkan dalam makalah ini, segala kekurangan yang ada dalam makalah ini
mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam penyusunannya. Segala
hal yang tidak relevan, kekurangan dalam pengetikan atau bahkan ketidakjelasan
dalam makalah ini merupakan proses saya dalam memperlajari bidang studi ini dan
diharapkan saya yang menulis ataupun bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika
Anonim. 2013. Bahan Rilis LSI_Korupsi dan
Kepercayaan Publik pada Penegak Hukum.
Diunduh pada tanggal Oktober 2010 dalam
Anonim. 2013. Penegakan Hukum di
Indonesia Sangat Memprihatinkan. Diakses pada tanggal 24 November 2013
dalam (http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/
penegakan-hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Ghofur, Abdul Anshori. 2006. Filsafat Hukum
Sejarah, Aliran dan Pemaknaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada
Soekanto,Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi
Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Press
Sunarso, Siswanto. 2005. Penegakan Hukum
Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
0 comments:
Post a Comment